"Pendidikan" Yang Serba Instan

Saya salut dengan kepedulian beberapa rekan saya mengenai pendidikan kita. Kritikan2 mengenai wajah pendidikan kita yg keliatan morat marit patut disikapi sebagai suatu keinginan untuk melihat bangsa ini menuju ke arah yang lebih baik. Ketika begitu banyak orang mengeluhkan pendidikan di Indonesia yg semakin mahal, bermunculanlah ide dari calon orang2 nomor satu di negeri kita untuk memberikan "pendidikan gratis". Padahal pendidikan itu bukan hanya sekedar masuk sekolah gratis, tapi lebih kepada apakah seseorang yg bersekolah bisa menjadi lebih terdidik atau tidak. "Pendidikan gratis" hanyalah salah satu faktor saja, dan sayangnya menurut saya bukan faktor yg esensial.

Menjalankan suatu institusi pendidikan yg sederhana sekalipun, akan senantiasa membutuhkan biaya. Apakah itu mahal atau tidak, adalah sesuatu yang relatif. Misalnya saja anak2 pinggiran yg tidak pernah mengenyam pendidikan. Mereka mungkin tidak membutuhkan fasilitas yg wah untuk belajar, karena untuk kondisi mereka mungkin hanya membutuhkan kapur, papan tulis dan seperangkat alat tulis yg bisa membantu mereka membaca dan berhitung. Permainan anak2 yg mahal dan berkualitas, mungkin belum perlu untuk mereka, karena skala prioritas dan keterbatasan dana. Dana tetap dibutuhkan, tapi dalam jumlah yg lebih kecil. Ceritanya tentu akan lain jika kita ingin menyediakan model pendidikan yg lebih mengarah ke keterampilan yg lebih spesifik. Dimana alat dan fasilitas tambahan akan sangat dibutuhkan. Dan ini tentu saja membutuhkan biaya tambahan bukan sekedar dana untuk membeli kapur dan papan tulis.

Yg menjadi persoalan, ketika kita ingin mendirikan sekolah, terkadang kita hanya berpikir ada guru, materi, "sedikit" fasilitas, dst. Kontinuitas pendidikan itu agar dapat survive mungkin agak terlupakan. Saya pernah berdiskusi dengan seorang dosen manajemen yg juga bekerja di bisnis pendidikan. Beliau mengatakan bahwa untuk bisnis pendidikan kita membutuhkan modal yg kuat untuk tetap survive minimal 3 sampe 5 tahun. Jadi kalo kita cuma punya modal "seadanya" yg diperlukan sebagai dana awal untuk menjalankan suatu sekolah, pada akhirnya pendidikan itu akan menjadi mahal, karena biaya operasional mungkin akan terus meningkat. Akibatnya, peserta didik yg harus menanggung kenaikan biaya tersebut karena ketidakmampuan pengelola untuk menutupi biaya-biaya tambahan yg mungkin tidak terduga.

Selama ini kita (termasuk saya) selalu mengeluhkan model pendidikan kita yg serba instan. Kita mungkin lupa, bahwa ternyata bukan model pendidikannya saja yg instan, dana yg kita sediakan pun ternyata instan juga. Ketika biaya meningkat, kita keteteran, karena dana yg instant tadi tidak cukup mampu beradaptasi dengan harga2 pasar untuk keperluan pendidikan. Konsekuensinya, uang sekolah naik dan kita menyalahkan pendidikan yg mahal. Padahal mungkin "hitung2an" pengelola pendidikan yg juga salah dan meleset :). Pendidikan memang suatu masalah yg kompleks. Banyak faktor yg berpengaruh, apakah itu intern atau ekstern. Kita butuh dana untuk membangun sebuah sistem pendidikan yang baik. Pertanyaanya adalah sejauh mana dana tersebut digunakan dalam merancang dan menjalankan suatu model pendidikan yg tepat dengan skala prioritas yg jelas. Dana instan, model instan, hasilnya....

Comments

  1. syukurnyaaaa aku anak pinggiran, cukup dengan blackboard, kapur tulis, dan 1 orang "guru"...

    *ga ngeluh*:D

    ReplyDelete
  2. Senengnyaaa jadi orang yg bisa bersyukur :)

    ReplyDelete

Post a Comment


Popular posts from this blog

Uji Kompetensi Guru

Bu, Bisa Pinjam Hand Phone-nya?

Ketika Bunda Belajar Mengaji