Gonta ganti buku di tiap tahun ajaran baru
Pemerintahan baru Indonesia telah mengeluarkan kebijakan baru dalam pemakaian buku-buku pegangan untuk tingkat pendidikan dasar dan menengah. Buku-buku pelajaran yang biasanya berganti tiap tahun ajaran, kini tidak akan terjadi lagi. Pemerintah telah menetapkan bahwa buku-buku pegangan untuk para siswa akan digunakan selama lima tahun. Dengan demikian, para siswa dapat mewariskan buku-bukunya kepada adik-adiknya kelak untuk digunakan kembali sampai lima tahun ke depan.
Kebijakan ini mengundang reaksi yang beragam. Orang tua murid tentu menyambut gembira kebijakan ini. Paling tidak beban biaya untuk membeli buku pelajaran tiap tahun dapat dikurangi. Bisa dibayangkan jika satu keluarga memiliki tiga orang anak pada tingkat jelas yang berbeda, berapa banyak uang yang harus dikeluarkan setiap tahunnya.
Ikatan penerbit indonesia (IKAPI) memberikan tanggapan yang berbeda mengenai kebijakan ini. Dengan alasan bahwa pendidikan selalu mengalami perubahan baik dari segi teknologi, metode mengajar, kurikulum, dan seterusnya, maka wajar lah setiap tahun buku itu mengalami perubahan, untuk meng-update pendidikan kita mengkuti perkembangan yang ada. Dengan adanya kebijakan pemakaian buku sampai lima tahun, dikhawatirkan tidak akan sejalan dengan perubahan-perubahan yang terjadi di sektor pendidikan itu sendiri.
Di sisi lain, guru juga memberikan tanggapan yang berbeda. Di salah satu surat pembaca di surat kabar nasional, seorang guru menceritakan bahwa selama ini ia menggunakan buku yang ia rancang sendiri yang disesuaikan dengan kebutuhan muridnya, karena gurulah yang paling mengerti apa yang dibutuhkan oleh muridnya. Selain itu, ia mengatakan bahwa dengan membuat buku sendiri akan memberikan masukan tambahan bagi guru, mengingat gaji guru yang relatif kecil. Untuk itu ia meminta kepada pemerintah, supaya guru diizinkan untuk membuat buku sendiri, dan juga meminta agar supaya buku-buku yang berasal dari penerbit dijual melalui guru, jika ada yang terjual maka guru berhak mendapat sekian persen dari harga penjualan. Hal ini sekali lagi untuk membantu guru mencari penghasilan tambahan.
Menarik untuk menyimak beragam reaksi dari orang tua murid, guru, dan penerbit. Orang tua tentu saja senang, karena mereka tidak perlu lagi mengeluarkan biaya yang cukup besar untuk membeli buku. Yang menarik perhatian saya adalah reaksi dari IKAPI dan salah seorang guru tadi (tentu tidak semua guru bereaksi seperti ini).
Adalah betul apa yang dikatakan IKAPI bahwa pendidikan akan selalu mengalami perubahan seiring dengan perkembangan yang ada. Yang menjadi pertanyaan adalah, sejauh mana perkembangan yang ada memberikan pengaruh terhadap pendidikan dasar dan menengah. Kalau pendidikan tinggi dimana kompetensi dari tamatannya sangat dibutuhkan untuk bisa bersaing di dunia kerja, adalah mutlak untuk menyediakan kurikulum yang dinamis. Itu pun hanya untuk mata kuliah tertentu, tidak untuk pengetahuan-pengetahuan dasar. Sementara di pendidikan dasar dan menengah yang diperlukan adalah penanaman hal-hal yang mendasar dari suatu ilmu. Jadi, kalau dikatakan bahwa pemakaian buku selama lima tahun dikhawatirkan tidak akan sejalan dengan perubahan-perubahan yang terjadi di sektor pendidikan itu sendiri, rasanya kurang tepat. Karena dari tahun ke tahun, sesuatu yang menjadi dasar akan sulit mengalamai perubahan, atau kalaupun ada, paling juga sedikit.
Yang mungkin perlu digaris bawahi adalah sejauh mana peran guru untuk memahami perubahan-perubahan yang ada. Guru, sebagai salah satu komponen utama dalam suatu sistem pendidikan yang berinteraksi langsung dengan para siswa tentu diharapkan mampu untuk memberikan pengetahuan yang di satu sisi dengan kemampuan siswa itu sendiri tapi juga sejalan dengan perkembangan yang ada.
Jika kita melihat kembali ke muatan pendidikan dasar dan menengah, adakah muatan-muatan pada tingkat pendidikan ini mengalami perubahan yang dinamis setiap tahun? Menurut saya tidak. Justru yang lebih penting adalah bagaimana guru bisa menemukan metode mengajar yang sesuai agar murid bisa menangkap intisari dari mata pelajaran yang diberikan.
Tanggapan dari salah seorang guru untuk bisa membuat buku sendiri menarik untuk dicermati, mengingat guru lah yang paling mengerti keadaan muridnya. Hemat saya, memang sudah tugas guru untuk bisa mencari alternatif yang terbaik untuk kepentingan murid-muridnya. Jika guru diberikan wewenang untuk membuat buku sendiri, yang dikhawatirkan adalah munculnya konflik kepentingan, karena bisa saja masing-masing guru menganggap bahwa bukunya lah yang paling bagus. Bisa dibayangkan, ganti guru, ganti buku.
Buku adalah salah satu alat bantu yang dapat digunakan oleh guru dan siswa. Yang mungkin lebih penting untuk dicermati adalah bagaimana guru bisa mencari metode yang tepat agar siswa dapat memahami dan menangkap intisari dari setiap mata pelajaran yang diberikan. Kebijakan pemerintah untuk tidak mengganti buku dalam jangka waktu lima tahun untuk tingkat pendidikan dasar dan menengah menurut saya tidak bertentangan dengan misi pendidikan kita untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Sekolah adalah tempat dimana semua orang harus belajar, bukan hanya siswa, tapi juga guru dan para staff. Tugas guru adalah belajar meningkatkan ilmunya dan kemampuan mengajarnya. Jangan sampai, dengan buku yang sama, guru juga menggunakan metode mengajar yang sama selama lima tahun, padahal siswa yang dihadapi berbeda.
“Teaching is a work of heart...” (no name, 2002)
Kebijakan ini mengundang reaksi yang beragam. Orang tua murid tentu menyambut gembira kebijakan ini. Paling tidak beban biaya untuk membeli buku pelajaran tiap tahun dapat dikurangi. Bisa dibayangkan jika satu keluarga memiliki tiga orang anak pada tingkat jelas yang berbeda, berapa banyak uang yang harus dikeluarkan setiap tahunnya.
Ikatan penerbit indonesia (IKAPI) memberikan tanggapan yang berbeda mengenai kebijakan ini. Dengan alasan bahwa pendidikan selalu mengalami perubahan baik dari segi teknologi, metode mengajar, kurikulum, dan seterusnya, maka wajar lah setiap tahun buku itu mengalami perubahan, untuk meng-update pendidikan kita mengkuti perkembangan yang ada. Dengan adanya kebijakan pemakaian buku sampai lima tahun, dikhawatirkan tidak akan sejalan dengan perubahan-perubahan yang terjadi di sektor pendidikan itu sendiri.
Di sisi lain, guru juga memberikan tanggapan yang berbeda. Di salah satu surat pembaca di surat kabar nasional, seorang guru menceritakan bahwa selama ini ia menggunakan buku yang ia rancang sendiri yang disesuaikan dengan kebutuhan muridnya, karena gurulah yang paling mengerti apa yang dibutuhkan oleh muridnya. Selain itu, ia mengatakan bahwa dengan membuat buku sendiri akan memberikan masukan tambahan bagi guru, mengingat gaji guru yang relatif kecil. Untuk itu ia meminta kepada pemerintah, supaya guru diizinkan untuk membuat buku sendiri, dan juga meminta agar supaya buku-buku yang berasal dari penerbit dijual melalui guru, jika ada yang terjual maka guru berhak mendapat sekian persen dari harga penjualan. Hal ini sekali lagi untuk membantu guru mencari penghasilan tambahan.
Menarik untuk menyimak beragam reaksi dari orang tua murid, guru, dan penerbit. Orang tua tentu saja senang, karena mereka tidak perlu lagi mengeluarkan biaya yang cukup besar untuk membeli buku. Yang menarik perhatian saya adalah reaksi dari IKAPI dan salah seorang guru tadi (tentu tidak semua guru bereaksi seperti ini).
Adalah betul apa yang dikatakan IKAPI bahwa pendidikan akan selalu mengalami perubahan seiring dengan perkembangan yang ada. Yang menjadi pertanyaan adalah, sejauh mana perkembangan yang ada memberikan pengaruh terhadap pendidikan dasar dan menengah. Kalau pendidikan tinggi dimana kompetensi dari tamatannya sangat dibutuhkan untuk bisa bersaing di dunia kerja, adalah mutlak untuk menyediakan kurikulum yang dinamis. Itu pun hanya untuk mata kuliah tertentu, tidak untuk pengetahuan-pengetahuan dasar. Sementara di pendidikan dasar dan menengah yang diperlukan adalah penanaman hal-hal yang mendasar dari suatu ilmu. Jadi, kalau dikatakan bahwa pemakaian buku selama lima tahun dikhawatirkan tidak akan sejalan dengan perubahan-perubahan yang terjadi di sektor pendidikan itu sendiri, rasanya kurang tepat. Karena dari tahun ke tahun, sesuatu yang menjadi dasar akan sulit mengalamai perubahan, atau kalaupun ada, paling juga sedikit.
Yang mungkin perlu digaris bawahi adalah sejauh mana peran guru untuk memahami perubahan-perubahan yang ada. Guru, sebagai salah satu komponen utama dalam suatu sistem pendidikan yang berinteraksi langsung dengan para siswa tentu diharapkan mampu untuk memberikan pengetahuan yang di satu sisi dengan kemampuan siswa itu sendiri tapi juga sejalan dengan perkembangan yang ada.
Jika kita melihat kembali ke muatan pendidikan dasar dan menengah, adakah muatan-muatan pada tingkat pendidikan ini mengalami perubahan yang dinamis setiap tahun? Menurut saya tidak. Justru yang lebih penting adalah bagaimana guru bisa menemukan metode mengajar yang sesuai agar murid bisa menangkap intisari dari mata pelajaran yang diberikan.
Tanggapan dari salah seorang guru untuk bisa membuat buku sendiri menarik untuk dicermati, mengingat guru lah yang paling mengerti keadaan muridnya. Hemat saya, memang sudah tugas guru untuk bisa mencari alternatif yang terbaik untuk kepentingan murid-muridnya. Jika guru diberikan wewenang untuk membuat buku sendiri, yang dikhawatirkan adalah munculnya konflik kepentingan, karena bisa saja masing-masing guru menganggap bahwa bukunya lah yang paling bagus. Bisa dibayangkan, ganti guru, ganti buku.
Buku adalah salah satu alat bantu yang dapat digunakan oleh guru dan siswa. Yang mungkin lebih penting untuk dicermati adalah bagaimana guru bisa mencari metode yang tepat agar siswa dapat memahami dan menangkap intisari dari setiap mata pelajaran yang diberikan. Kebijakan pemerintah untuk tidak mengganti buku dalam jangka waktu lima tahun untuk tingkat pendidikan dasar dan menengah menurut saya tidak bertentangan dengan misi pendidikan kita untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Sekolah adalah tempat dimana semua orang harus belajar, bukan hanya siswa, tapi juga guru dan para staff. Tugas guru adalah belajar meningkatkan ilmunya dan kemampuan mengajarnya. Jangan sampai, dengan buku yang sama, guru juga menggunakan metode mengajar yang sama selama lima tahun, padahal siswa yang dihadapi berbeda.
“Teaching is a work of heart...” (no name, 2002)
Comments
Post a Comment